Ibu Marsinah dan Suara Lantang Kita.
Sekiranya lima belas tahun lalu, ketika dunia belum berputar secepat ini dan kegiatan-kegiatan masih berkisar antara pergi bersama orang tua, dititipkan di rumah saudara maupun berkunjung ke rumah teman (dan tentu -hey- bersekolah ), itulah perjumpaan pertama saya dengan sosok bernama Marsinah. Tentu sebagai bocah berusia sepuluh tahun, tahu apa saya saat itu tentang bagaimana memproses emosi-emosi yang menyeruak paska mengetahui kisah ini? Meski sudah nyolong-nyolong baca buku dan zine milik kakak sepupu tentang perkara-perkara yang terjadi sebelum saya lahir, rasanya informasi-informasi tersebut belum utuh membentuk satu pengetahuan di kepala untuk selanjutnya bisa didayaguna menjadi jangkar penyikapan.
Malam itu, sependek ingatan saya, agak larut kasur saya jamah. Entah kenapa mata masih terpaku pada layar televisi dan berusaha mencari-cari tontonan yang sekiranya asyik. Padahal jelas, di atas jam sembilan malam sudah tak ada tayangan yang diperuntukkan bagi anak sekolah dasar. Entah itu berita, kuis-kuis malam, acara horror maupun liputan kriminal yang sedikit dibumbui bahasa dan latar musik berlebih.
Tiba-tiba, ketika jari masih bersemangat memencet remot teve, di saluran (bila tidak salah) trans tujuh (sekarang saya sedikit masygul, trans tujuh atau global tv, ya?) baru saja dimulai tayangan berjudul ‘Marsinah’. Dimulai dengan latar hitam putih dan narasi pembuka yang nampak menggugah rasa ingin tahu, saya memutuskan untuk duduk dan menyalakan teve lebih lama. Dalam durasi kurang lebih 40 menitan, saya dipertontonkan pada tragedi yang menimpa Marsinah, buruh pabrik PT. Catur Surya Putra pada kisaran tahun 93.
Pengalaman menonton ini bukan hanya mengenalkan saya pada hal baru tentang gerakan buruh dan apa yang mereka perjuangkan, tetapi bagaimana resistensi dari para petinggi pabrik dan bahkan rezim yang getol memangkas gerakan ini. Ada semacam rasa takut dari mereka-mereka yang didemo, sehingga, alih-alih melakukan negosiasi atau mengabulkan tuntutan, gerakan justru digembosi dan siapa saja yang lantang diringkus dengan strategi dan satuan yang terstruktur. Aneh juga kalau saya pikir-pikir kembali sekarang, sebab kenaikan upah yang saat itu diajukan oleh Marsinah dan kawan-kawan menjelang hari buruh adalah sekitar 550 rupiah saja yang menggenapi gaji sementara agar sesuai dengan UMR Jawa Timur.
Di samping kenaikan upah, ada beberapa poin tuntutan lain, yakni pengadaan tunjangan cuti haid, asuransi kesehatan buruh yang ditanggung oleh perusahaan, THR sesuai gaji bulanan, penambahan jumlah uang makan, kenaikan uang transport, tunjangan cuti hamil tepat waktu, penyamaan upah karyawan baru dengan karyawan yang sudah setahun bekerja dan pelarangan mutasi, intimidasi dan PHK pada karyawan yang menuntut haknya. Tuntutan tersebut sebetulnya tak jauh beda dengan apa yang hari ini (masih terus) disuarakan oleh kawan-kawan pekerja. Mengapa sulit sekali, ya, bagi perusahaan untuk setidaknya memberi ruang bagi gerakan-gerakan ini dan melakukan negosiasi — bahkan pengabulan tuntutan? Ah, saya di sini bukan untuk menjawab itu, dan barangkali hanya bisa berdoa saja supaya satu-dua dekade lagi, tuntutan-tuntutan serupa sudah berganti dengan perkara lain.
Pada dasarnya, untuk kasus Marsinah kita harus sedikit jeli mendapat konteks situasi politik. Saat itu orde baru, gerakan, serikat, maupun perkumpulan yang dirasa berpotensi menggugat status quo kenegaraan, sekecil apapun itu, akan langsung terendus dan kalau bisa, diringkus rapi (kebetulan saat itu yang bersangkutan memang tergabung dalam serikat buruh). Ada ketakutan bahwa keberanian tersebut akan menjalar ke mana-mana dan menginspirasi banyak pihak untuk berpikir lebih lanjut mengenai hal-hal yang dirasa janggal. Meski di beberapa sektor terdapat kekayaan ragam eksplorasi, seperti di perfilman misalnya, tetapi hal-hal tersebut sebisa mungkin dijauhkan dari realitas yang terjadi di masyarakat. Apapun yang tidak ada sangkut paut dengan rezim dan ajakan berpikir kritis rupanya sangat mendapat ruang.
Kembali lagi ke sesi menonton lima belas tahun lalu..
Sekarang saya jadi berpikir lagi, tayangan yang saya tonton itu apakah merupakan bersifat menggugat kasus Marsinah atau justru memberi efek takut agar tidak ada lagi buruh yang berani mengungkapkan tuntutan? Yah, apapun itu, yang tertinggal pada saya adalah gidik ngeri. Menjelang menit-menit akhir, diceritakan bahwa Marsinah hilang setelah ia mendapati bahwa ada beberapa kawannya yang dipanggil ke kantor Kodim Sidoarjo untuk diinterogasi dan ditanyai siapa saja yang terlibat dalam aksi dan penyusunan tuntutan, bahkan kemudian dipaksa mengundurkan diri. Aneh bukan? Urusan aslinya kan dengan pabrik tempat mereka bekerja, tapi kok pemanggilan dan PHK dilakukan oleh militer. Keanehan tersebut juga Marsinah rasakan sehingga ia bertekad untuk melakukan gugatan balik. Terlebih karena sebetulnya beberapa poin tuntutan sudah dikabulkan oleh perusahaan, yang mana mencakup larangan intimidasi pada karyawan.
Sayangnya, setelah merencanakan umpan balik tersebut, tak ada lagi seorang pun yang melihat batang hidung Marsinah. Hingga pada 8 Mei 1993, ditemukan sesosok jasad perempuan dalam gubug tengah sawah di sebuah desa di Nganjuk. Narator mengatakan bahwa ada beberapa luka yang tertinggal dan cukup parah. Ada tulang-tulang yang bahkan retak, belum lagi luka serius di organ dalam. Ini jelas suatu tindak penganiayaan luar biasa dan cukup terencana. Sebab menurut kawan-kawannya, tak ada yang berhasil berkontak dengan Marsinah; ia seakan lenyap. Selain itu, ada kejanggalan lain yang dijumpai oleh para ahli forensik, yakni keberadaan lubang kecil di tubuh Marsinah yang disinyalir sebagai bekas tembakan senjata api. Fakta ini jelas mengarah kuat pada pihak yang erat dengan kepemilikan senjata api, siapa lagi bila bukan satuan militer — sebab saat itu akses kepemilikan terhadap senjata api sangat terbatas. Namun sayang, persidangan demi persidangan, bahkan hingga tingkat Mahkamah Agung pun memutuskan bahwa terdakwa dari kalangan militer tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Marsinah. Hingga kini, tetap belum terungkap siapa pembunuh Marsinah. Negara seakan tak m̶a̶u ̶bisa menjawabnya.
Tayangan usai. Namun, sekelebat bayang hitam-putih gubug tengah sawah di mana jasad Marsinah ditemukan membekas nyata pada diri saya saat itu. Ngerinya melebihi film horor yang kerap saya tonton. Bahwa teror yang dilakukan oleh manusia rupanya lebih ngeri, pelan tapi pasti dan nyata adanya; bahkan bisa datang pada siapa saja, termasuk kita orang-orang biasa.
Malam itu saya tidur dengan kelopak yang terus menggeletar, takut bila ada sosok yang menyatroni rumah dan entah mengambil saya atau orang tua yang sedang tidur di kamar lain. Dan rupanya, gidik ngeri terus berlanjut hingga beberapa hari. Ketika suasana sedang sepi atau saya berjalan di barisan paling belakang, kerap muncul urgensi untuk segera melongok dan mengawasi sekitar. Saya betul-betul takut ada orang jahat yang bisa melakukan apa saja, termasuk menghilangkan kita dengan sekali ringkus.
Beberapa tahun setelahnya, kengerian tersebut mulai berubah. Saya bukan lagi anak SD polos yang bingung pada fakta historis. Kepingan bacaan, tontonan dan informasi yang didapat mengenai kejahatan rezim mulai menyatu jadi satu pengetahuan utuh; ditambah pengalaman bekerja serabutan sana-sini dan berjumpa dengan banyak orang. Rasanya semua terasa semakin relevan; bahwa yang selama ini selalu disuarakan adalah hal yang dekat, keseharian, dan pasti dialami semua orang. Janggal betul bahwa suara-suara ini dikerdilkan oleh pemerintah dan dianggap sebagai usikan lalu — seakan-akan suatu saat nanti mereka atau kerabatnya tak akan mengalami hal serupa. Meski realitas kehidupan (termasuk paket hak istimewa) antar golongan jelas berbeda, tapi saya rasa selalu ada titik berangkat bagi masing-masing dari kita untuk berani melihat lebih jeli, lebih kritis dan mendayaguna jalan-jalan tikus di sekitaran guna mengamplifikasi serta memanjangkan umur cita-cita mereka yang pernah lantang tetapi tak pernah pulang.