Perempuan yang Mengenakan Baju Zirah itu Tak Pernah Lekang oleh Zaman
Aku kenal perempuan itu sudah lama. Bau tubuhnya adalah yang pertama kucandu, meski tak kuingat lagi detail soal itu. Konon kata, sejak aku belum bisa ngapa-ngapain selain menangis dan merepotkannya, ia sudah fasih mendekapku sembari melakukan banyak hal lain.
Aku dan dia tumbuh menjadi manusia secara bersamaan. Mula-mula ia adalah inangku, sampai akhirnya suatu hari anak manusia ini dilahirkannya. Terlepas dari fakta bahwa aku tak lagi menginduk lekat pada raganya dan menjadi satu dengan dirinya, hubungan kami justru makin erat semenjak hari itu. Ia akan selalu awas dengan keberadaanku dan menghabiskan malam tidur di sampingku.
Anehnya, tak pernah sekalipun ia mengenalkan dirinya. Tak kuingat kapan pertama kali ia sebut namanya. Apakah itu ia lakukan ketika aku masih di bedongan atau ketika sedang meninabobokanku? — sehingga tak ada satu pun yang nyangkut di ingatan.
Pelan-pelan itu tak jadi soal. Dengan tinggal bersama dan menjadi beban yang ia pilih untuk dibesarkan bareng pasangannya, lambat laun aku mulai mengenal perempuan ini. Namanya Dewi. Di tempat lain ia sepakat untuk dipanggil Tyas. Memilih mengajar di alma maternya bahkan sejak lulus sarjana dari tempat itu. Ia kurang suka makan daging merah, separoh vegetarian karena menuruti seleranya. Barangkali hidangan laut mulanya juga kurang ia gemari, karena aku ingat ia pernah cerita bahwa ketika hamil diriku, mendadak kerang dan kepiting bisa disantapnya.
Tak banyak cerita kudapat tentang bagaimana ia menentengku ke sana ke mari selama hampir setahun. Tak banyak gambaran dirinya yang benar-benar bisa kucermati selama kami sama-sama hidup dua puluh enam tahun terakhir ini. Aku tak tahu bagaimana ia memandangku sebagai makhluk hidup yang dengan sukarela ia lahirkan, bahkan (barangkali) ia tunggu-tunggu wujud fisiknya. Apakah tubuhnya pernah merekam luka yang kubuat? Apakah mentalnya terus waras dengan hadirnya makhluk tak dikenal yang ngendon di tubuhnya dan tinggal di rumahnya hingga akil balig?
Perempuan ini sering kuterawang dalam tidurku. Beberapa kali muncul di mimpiku. Ia mengenakan baju zirah mengkilap, menantang kemapanan-kemapanan dunia tentang patriarki dan berbagai ketimpangan yang dihadapi sesama. Meski baju zirah mengesankan sedikit kekakuan, tak pernah sekali pun ia lepas kostum itu. Barangkali sebagian identitasnya turut terbentuk oleh si baju zirah. Ada sesuatu dari masa mudanya yang belum jua kupahami. Ada prinsip-prinsip yang terus kupertanyakan dari padanya. Kedekatan kami seakan diuji dengan segala elemen yang saling beroposisi.
Yang jelas kupahami, pada tubuh dan pengalamannya aku mengalami sekolah pertamaku. Ia mengajariku untuk memanggilnya Ibu — kata yang selalu kurekam dalam bawah sadarku, sekaligus orang pertama yang padanya aku berani berkata bahwa aku berhutang nyawa.
Selamat bertambah usia, Bu. Segala doa baik dan harapan kupanjatkan untuk Ibu tersayang, perempuan baju zirah yang tak lekang oleh zaman.